Korupsi di jaman sekarang ini bukanlah suatu hal yang
tabu, banyak pejabat – pejabat pemerintahan dari yang bawah hingga kalangan
pejabat atas melakukan hal tersebut. Tujuannya hanya satu memperkaya diri,
entah apa yang mereka pikirkan hingga berbuat seperti itu. Padahal korupsi itu
merupakan suatu tindakan melanggar hukum, dan di dalam agama islam pun korupsi
itu termasuk dosa karena mengambil barang yang bukan haknya.
Korupsi dan derivatifnya kolusi, nepotisme,
despotisme adalah penyakit masyarakat. Oleh karena itu harus dimulai dengan
melakukan diagnosis, yaitu mencari penyebab dari penyakit itu. Jika penyebabnya
sudah ditemukan, penyebabnya itulah yang diangkatkan melalui terapi-terapi
penyembuhan dan dengan resep obat-obat yang tepat.
Pertanyaannya, dapatkah korupsi sebagai penyakit
masyarakat itu diangkat? Jawabnya, sama seperti dokter menjawab pertanyaan
pasiennya: Insya Allah, dapat! Kecuali kalau penyakitnya sudah lajat, sudah
sangat payah, memang tidak bisa disembuhkan lagi. Yang ditunggu adalah
kematian. Bukankah kematian masyarakat akibat korupsi sudah kita temukan di
mana-mana dalam lembaran sejarah? Kuburannya pun bertebaran di mana-mana.
Memang, penyakit masyarakat bernama ”korupsi” itu
telah ada sejak manusia ada. Secara potensial inheren ada pada tiap manusia.
Namun, manusia itu disebut manusia karena dia berusaha melawan dan memerangi
sifat-sifat buruk (sayyiah), jelek (lawwamah), dan kesetanan
(syaithaniyyah)-nya dengan petunjuk-petunjuk Ilahi dan akal sehatnya. Itu
sebabnya, dalam Islam, keimanan dan ketakwaan harus senantiasa diperbarui dan
diperkuat. Perjalanan hidup seseorang tak pernah berupa garis lurus yang terus
menanjak atau terus menurun, tetapi keduanya. Itu sebabnya kenapa ada orang
yang pada mulanya baik, lurus, jujur, tidak korupsi, tetapi akhirnya jelek dan
menjadi koruptor besar. Begitu juga sebaliknya.
Pendekatan bersifat kejiwaan yang dimulai dari
diri, bagaimanapun, harus dilakukan karena yang sakit itu sesungguhnya adalah
jiwa. Penyakit jiwa terapinya terutama agama. Tak ada terapi kejiwaan yang
lebih ampuh dan lebih menyentuh kecuali pendekatan kejiwaan bernuansa
keagamaan. Dalam psiko-terapi yang bernuansa keagamaan, manusia yang telah
terputus talinya dengan Sang Penciptanya dihubungkan kembali sehingga dia merasakan
ada pihak lain selain dirinya yang akan membantu dia, yaitu Sang Pencipta.
Referensi : http://nasional.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar