TERIK memanggang menyertai suara klakson yang bersahutan memekakkan
telinga. Ribuan kendaraan berbaris, parkir tak beraturan. Bentak dan
gerutu sesekali telontar dari pengendara yang merasa jatahnya diambil
alih angkot yang kejar setoran atau sepeda motor yang memanfaatkan celah
sempit.
Dalam situasi inilah warga ibu kota setiap saat berkutat. Dalam
kemacetan yang menjadi menu sehari-hari mereka. Ya, di usianya yang
sudah menginjak angka 486, Jakarta masih menderita penyakit akut
metropolitan bernama kemacetan.
Setiap hari, warga kota—yang tak pernah tidur ini—harus merelakan
waktunya dihabiskan di Jalan. Dinas perhubungan Provinsi DKI Jakarta,
berdasarkan hasil studi evaluasi biaya kemacetan lalu lintas DKI tahun
2010 lalu mencatat, kerugian akibat kemacetan lalu lintas di Jakarta
mencapai Rp45,198 triliun.
Kerugian mencakup komponen biaya untuk bahan bakar kendaraan, operasi
kendaraan, kehilangan nilai waktu, kehilangan potensi ekonomi, dan
pencemaran udara. Kerugian terbesar dari kemacetan lalu lintas yang
melingkup DKI Jakarta adalah kehilangan nilai waktu yang mencapai Rp14
triliun lebih.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bukan tanpa usaha untuk mengobati
penyakit ini. Di usianya yang baru seumur jagung, pemerintahan daerah
pimpinan Gubernur Joko Widodo (Jokowi) mencoba membuat formula baru
dengan menghidupkan kembali transportasi massal.
Hal ini dalam rangka menarik minat pengguna kendaraan pibadi—yang konon
menjadi penyebab kemacetan—untuk mengandangkan piranti transportasi
mereka dan beralih ke kendaraan umum. Jokowi kembali menggulirkan proyek
Mass Rapid Transit (MRT) yang wacananya sudah sempat tersiar di era
gubernur-gubenur terdahulu.
Jokowi ngotot proyek bernilai Rp15 triliun ini, akan dimulai
pembangunannya pada bulan ini. Rencananya, untuk tahap awal, proyek yang
telah dicanangkan sejak 14 tahun lalu itu, akan melayani trayek selatan
dengan rute Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia (HI) sepanjang 15,5
kilometer dan ditargetkan rampung dalam 7 tahun kemudian.
Selain MRT, Jokowi siap melanjutkan pengerjaan proyek monorail yang kini
mangkrak menyisakan "monumen" di bilangan Rasuna Said, Kuningan dan
Asia Afrika, Senayan. "Untuk monorail pengerjaannya lebih cepat, sekira 4
tahun akan selesai," kata Jokowi April lalu.
Lantas apa sebenarnya penyebab utama kemacetan Jakarta?
Kepadatan penduduk kerap dikambinghitamkan sebagai faktor penyebab
kemacetan. Ini lantaran jumlah penduduk di Jakarta yang mencapai 9,61
juta jiwa (data (Diskominfo) DKI Jakarta, berdasarkan Sensus Penduduk
2010). Faktor berikutnya, tingginya keinginan warga Jakarta dan
sekitarnya menggunakan kendaraan pribadi, baik roda dua maupun roda
empat.
Pengamat Perkotaan, Yayat Supriatna, berharap Jokowi mampu segera
membuat keputusan politik untuk dapat mengimplementasikan
program-program yang digagasnya.
"Masalahanya sudah lama kita tunggu solusi. Kita tahu ada kendala
perencanaan, program, implementasi dan anggaran. Kemungkinan Jokowi
sudah bosan dengan rencana. Saat ini, masyarakat ingin action, apa yang
disiapkan untuk bisa wujudkan," kata Yayat kepada Okezone.
Bila semua rencana Jokowi ini mampu diimplementasikan, Yayat
memprediksi, kemacetan di Jakarta akan berkurang. "Seharusnya tidak
perlu lagi ada keraguan-keraguan," ujarnya.
Ya. Semua warga ibu kota sangat berharap 'penyakit' kemacetan ini dapat
disembuhkan pemimpin baru Jakarta. Sehingga berbagai kerugian warga Ibu
Kota dapat diminimalisasi. Semoga!!
Referensi : http://jakarta.okezone.com/read/2013/06/10/500/819449/kemacetan-jakarta-yang-kian-kronis
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar